Rabu, 19 September 2012

Maling-malingan

KUDENGAR gembok dibuka. Pintu besi berderit, rupanya engselnya lama tidak diminyaki. Sekarang jam berkunjung.

"Ada yang ingin bertemu di ruang bezoek," kata sipir itu, dingin tanopa ekspresi.

Dengan langkah malas aku menuju ke ruang yang juga disekat besi. Di luar, seseorang berbaju bagus menyambutku tersenyum, "Anjing..." sapaku ramah.

Lelaki itu terbahak. Tawanya sungguh lepas. Benar-benar lepas dari mulutnya yang sekarang sukses sebagai pengacara. Aku saja yang bernasib sial. Karena, selain lelaki perlente di depanku ini, satu lagi sahabat lamaku yang sekarang berdinas di sebuah Polda.

Dulu, ketika SD, kami bertiga adalah teman sepermainan. Dan permainan yang amat kami sukai adalah maling-malingan. Permainan ini sungguh mengalahkan keasyikan gobak sodor, betengan, perang-perangan  atau yang lain. Kami bertiga, selalu yang berperan sebagai malingnya. Maka, teman-teman yang lain akan sulit mencari persembunyian kami. Sampai sore. Sampai maghrib. Sampai kami bertemu lagi di surau untuk mengaji. Atau hanya pura-pura mengaji. Agar orang tua kami tidak marah.

Sepulang mengaji, setelah isya', kami menjelma menjadi maling sungguhan. Sekalipun dalam taraf yang kecil-kecilan; mencuri buah-buahan.

"Sob, hanya kamu yang sukses menjadi maling betulan," kata si pengacara itu suatu ketika.

Aku tertawa. Dia tertawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar